Oleh: Ifa Isfansyah
Berbicara tentang masa depan pasti berawal dari sebuah kelahiran. Film dilahirkan oleh seorang pembuat film. Darimanakah seorang pembuat film lahir? Di beberapa negara yang industri filmnya kita anggap maju bisa dipastikan mempunyai beberapa sekolah film yang bagus. Permasalahan muncul di saat negara kita mempunyai banyak anak muda yang sangat konsen untuk menjadi seorang pembuat film tetapi hanya memiliki jumlah sekolah film yang sangat terbatas.
Sedangkan untuk membuat sebuah film yang berkualitas benar-benar dibutuhkan belajar, baik secara teknis maupun non-teknis. Keadaan semacam ini menyebabkan dan mengharuskan para calon penerus perfilman Indonesia ini untuk survive.
Maka tumbuhlah sebuah fenomena: komunitas film! Quentin Tarantino dengan sangat cepat segera diangkat menjadi dosen, bahkan merangkap rektor. Saat buku-buku tentang produksi film sangat jarang dan mahal, DVD bajakan akhirnya menjadi kurikulum utama. Setelah menjalani proses kuliah di ruang-ruang diskusi, film akhirnya dihasilkan dengan sangat tidak akademis. Ide-ide brilian dan film-film yang bervariasi menghiasi komunitas demi komunitas yang jumlahnya makin bertambah banyak seiring dengan banyaknya film berkualitas yang dibajak. Tidak ada lagi istilah story board, floor plan, director’s treatment, dramatic structure, shooting schedule, breakdown apalagi production design. Semua dihancurkan karena ketidaktahuan.
Pembuat film yang terlahir dari komunitas film semakin bertambah banyak. Sekolah film akhirnya semakin menjadi “musuh” para pembuat film. Akan tetapi komunitas film hanyalah komunitas film, tidak bisa berbuat banyak saat industri film (baca:produser) masih saja tetap mengacu ke sebuah film yang “akademis”. Bahkan pemerintah semakin asyik dan tidak menyadari bahwa dunia film telah mengalami revolusi besar-besaraan.
Ketidakjelasan dan kebingungan karena banyaknya cara untuk menjadi seorang sutradara dianggap positif. Ide-ide yang gila dengan eksekusi yang ngawur dianggap sesuatu kelebihan. Bahkan semakin menyalahi aturan karena ketidaktahuan dianggap sesuatu yang cerdas. Perubahan yang tidak segera disikapi ini membuat semuanya serba menjadi tanggung. Komunitas film menjadi bingung bagaimana cara untuk menjadi bagian dari masa depan perfilman Indonesia. Sekolah film pun juga semakin menjadi masa lalu dari sejarah perfilman Indonesia. Perkembangan dan masa depan film Indonesia akhirnya menjadi sesuatu yang sangat tidak terencana, dibiarkan mengalir begitu saja dan entah akan kemana.
NB :
Ikut prihatin dengan dinonaktifkannya ASDRAFI Jogjakarta setelah peristiwa gempa bumi tanggal 27 Mei 2007. ASDRAFI adalah Akademi Seni Drama dan Film di Jogjakarta yang didirikan pada tahun 1955. Beberapa seniman yang pernah belajar di ASDRAFI antara lain Putu Wijaya, WS Rendra, Sapto Raharjo, Teguh Karya dan masih banyak lagi. Sebelum peristiwa gempa bumi di Jogjakarta, 8 orang masih tercatat sebagai mahasiswa ASDRAFI. Memutuskan untuk non-aktif setelah bangunan yang selama ini digunakan sudah sangat tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar.
Ifa Isfansyah, sineas Yogyakarta, kontributor filmalternatif yang sedang tinggal di Korea.