Kamis, 20 April 2006
Kini, tak begitu susah menemukan poster film Indonesia terpampang di bioskop. Sebuah perkembangan yang patut disambut gembira. Berbicara perfilman nasional, tentu tidak terlepas dari fenomena film indie. Bagaimana perkembangannya sekarang?
BOLEH dikatakan, Bandung layak menyandang predikat sebagai salah satu barometer film indie. Lihat saja kegiatan festival, diskusi, workshop, dsb., yang sering mondar-mandir di kampus, sekolah, atau berbagai komunitas di Bandung. Belum lagi, yang muncul di ruang publik lain, seperti kafe, sebagai salah satu alternatif hiburan.
Adalah Salman Filmmaker Club (Salman FM Club), salah satu komunitas di Bandung yang cukup konsisten dalam memproduksi film. Berdiri sejak Maret 2001, Salman FM Club telah membuat 40-an film, baik film pendek maupun film panjang. Kebanyakan dikerjakan bersama Forum Filmmaker Pelajar Bandung (F2PB), sebuah forum khusus pelajar SMU yang dibentuk Salman FM Club. Tercatat sekira 200 orang pelajar SMU yang menjadi anggota. Salah satu filmnya, Ben, dengan asistensi Budiyati Abiyoga –produser film senior, bahkan ikut serta dalam Cannes Film Festival 2006.
Semangat indie dikenal dengan do it yourself. Apalagi dengan kemudahan teknologi, hampir semua orang dapat membuat film. Tinggal pakai handycam, beli kaset, lalu edit di komputer, beres! Namun Iqbal Alfajri, salah satu penggagas Salman FM Club, berpendapat bahwa film indie tidak hanya faktor “semuanya dikerjakan sendiri”. “Film indie harus ada spirit juga,” kata laki-laki lulusan FSRD ITB angkatan 1996 ini. Kampus berbicara dengan Iqbal seputar spirit film indie, distribusi, kompetisi, sampai pada iklim kebebasan berekspresi, di Sekretariat Salman FM Club di Gedung Kayu lantai 3 kompleks Masjid Salman ITB. Berikut petikan wawancaranya:
Kenapa pelajar SMU yang menjadi sasarannya?
Kalau mahasiswa, rata-rata sudah punya pemikiran relatif stabil. Kita coba masuk ke SMU, karena kita lihat, mereka masih mencari-cari. Jadi kita arahnya lebih pada pembinaan pelajar. Beda kalau ke mahasiswa, kita arahnya lebih pada fasilitator. Kita memang tidak berharap para pelajar tersebut langsung jago bikin film, tapi kita berharap, mereka bisa membuat sesuatu di usia muda.
Sekarang memang cukup banyak anak muda yang coba bikin film. Tapi seringkali mereka terhambat di distribusi. Mau ke mana kalau film itu sudah jadi? Sebenarnya bagaimana?
Jaringan film indie memang tidak semapan jaringan distribusi film komersial, di mana jelas kan, ada bioskopnya, ada pebisnisnya, dsb. Yang namanya festival mah tiap tahun pasti ada. Tapi kalau distribusi yang sifatnya terstruktur, saya kira itu belum. Tapi kita menyiasatinya begini. Sekarang kita melihat distribusi film itu lebih luas. Makanya kita lari ke potensi pelajar. Di kurikulum kan sudah ada kewajiban membuat film (pelajaran bahasa Indonesia). Film kita akhirnya jadi referensi guru-guru. Kita mah gerilya saja. Kita juga kasih langsung ke orang film. Pokoknya begini, bagaimanapun caranya film indie harus tetap eksis!
Kalau ke stasiun TV lokal?
Kita pernah coba. Tapi kita lihat, mereka terlalu biasa dalam pengelolaannya. Cuma diputar saja. Ya mbok diundang orang-orang yang membuatnya untuk bicara tentang karyanya. Karena film itu kan tidak terlepas dari pertanggungjawaban. Apalagi film indie. Itu bisa saja berbahaya, karena lebih bebas berekspresi.
Kalau Anda sendiri, seberapa ingin film Anda diputar di bioskop? Atau tidak terlalu peduli, karena yang penting adalah proses berkaryanya?
Kalau di Jerman, film indie rutin diputar di bioskop. Ada peraturan bahwa wajib memutar film indie setengah jam sebelum pemutaran film. Rasionya begini, kalau ada 10 film diputar, maka minimal harus ada 2 film indie yang diputar. Jadi, ada penghargaan dan kejelasan. Kalau di Australia, ada stasiun yang fokus ke film indie. Kalau Amerika lebih hebat lagi. Amerika ada festival film indie (Sundance Film Festival) yang dibiayai oleh orang-orang film Hollywood sendiri. Karena Hollywood memang mencari sutradara untuk diorbitkan, dari festival itu.
Nah, kalau di kita serba tidak jelas. Tapi, pokoknya film indie harus tetap eksis. Tantangan memang cukup berat. Kalau bicara semangat, selama 5 tahun ini, bisa dibilang turun terus. Ha haha… Tapi ketika ketemu lagi sama orang-orang film, kita jadi semangat lagi. Apresiasi, motivasi dan pujian dari mereka, membuat kita terbakar lagi. Walaupun sampai saat ini, penghargaan masih dalam bentuk penghargaan personal. Belum ada lembaga yang tiba-tiba datang, lalu kasih duit, nih untuk buat film. Ha..ha…
Kalau bicara film indie, sering dikontrakan dengan “major label”. Sedangkan ada pendapat bahwa di Indonesia, “major label” film pun belum ada yang mapan. Jadi, film indie itu apa?
Saya sepakat dengan Garin Nugroho. Garin bilang, film indie itu, orang-orangnya masih bebas. Dalam arti, punya konsep dan idealisme, dan itu tergambar dalam filmnya. Tidak ikut trend dan main di mainstream. Dia juga bisa mempertanggungjawabkan karya dia. Kalau asal, itu bukan mental seorang filmmaker. Tidak semena-mena juga, bilang “Saya bisa bikin film sendiri nih.” Bukan berarti itu film indie. Dilihat dulu! Banyak loh, anak-anak yang buat film, tapi mirip sinetron. Apa itu film indie? Bukan! Itu film mainstream, walaupun semua dibuat sendiri.
Jadi, film indie bukan sekadar “do it yourself”?
Tidak hanya itu, tapi ada spirit juga. Kalau bicara definisi, yang jelas film itu dibuat berdasarkan kebutuhan. Bukan iseng atau hobi, tapi dia butuh untuk buat film. Misalnya, saya konsentrasi ke dunia remaja. Lalu saya lihat sinetron remaja, banyak yang tidak benar. Lalu saya buat saja film remaja. Itu kebutuhan kan? Seperti waktu kita putar film Ben di sebuah SMU. Mereka bilang, “Wah, kalau sinetron seperti ini, kita mau nonton.” Itu bukti bahwa sebenarnya mereka butuh, tapi di pasar tidak ada. Kalau sinetron kan, kebanyakan sekadar memenuhi pasar. Jadi, kita melihat masalah, dan dari nilai-nilai yang diyakini, kita berusaha menjawabnya lewat film.
Kalau bicara iklim kebebasan berekspresi dan berkreativitas, bagaimana?
Di Indonesia, selama belum ada undang-undangnya, sebenarnya momen yang baik untuk berkembang. Di undang-undang perfilman, belum ada yang mengatur khusus film indie. Memang ada Lembaga Sensor Film (LSF). Tapi sampai hari ini, belum ada orang membuat film indie, separah apa pun, yang bermasalah atau ditangkap. Film yang menjelek-jelekkan pemerintah juga ada loh.
Dengan tidak ada peraturan, Anda senang?
Menurut saya, kalau kita mau jadi manusia yang beradab, kita mengatur diri sendiri. Tidak harus ada undang-undang. Plus-minusnya, kita jadi lebih cepat dewasa. Walaupun mungkin nanti ada korban-korbannya. Harapan saya, tidak usah ada undang-undang. Tapi, masyarakatnya harus siap. Nah, film indie kan beredarnya kebanyakan di kalangan tertentu, namun kalau untuk disiarkan ke publik yang lebih luas lagi, perlu ada regulasi juga. Jadi, ada yang harus diatur, ada juga yang harus diberi ruang.
Untuk penghargaan dan kompetisi film indie, bagaimana?
Saya belum terlalu puas. Penjuriannya kebanyakan tidak transparan. Untuk penjurian, jangankan festival film indie, Festival Film Indonesia (FFI) saja tidak transparan. Ha..ha… Di FFI, menentukan film terbaik, cuma oleh 10 orang. Kalau Piala Oscar kan sampai ribuan jurinya. Itu FFI, lalu bagaimana festival film indie, yang mungkin jurinya saja tidak dibayar? Terus terang kalau saya lebih pilih di luar negeri. Karena di Indonesia tidak jelas dan tidak ada atmosfer kompetisinya, tahu-tahu menang saja entah siapa. Banyak yang kecewa loh.
Siapa sih yang harus peduli sama film indie?
Pertama ya dari orang film sendiri. Mereka yang senior dan bisa jadi patron. Misalnya, orang seperti Slamet Rahardjo. Sudahlah dia tidak usah bikin film lagi, tapi dia jadi bapak film Indonesia. Dia datang ke kantong-kantong film indie, kasih semangat, saran, dana juga kalau bisa. Nah, kalau pemerintah, yang terutama itu Depbudpar. Kita pernah juga ke Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Kita pernah membuat acara, diskusi dan macam-macam, tapi tidak didanai sama sekali. Padahal itu acara film yang seharusnya mereka bikin. Tadinya mereka juga menjanjikan bahwa acara itu bagian dari FFI. Ah, kalau bicara pemerintah, kekecewaan kita sih…sudahlah..Ha.. ha…
Penulis: Dewi Irma
Sumber: Pikiran Rakyat